Tanggal 17 Agustus 2012
Indonesia genap berusia enam puluh tujuh tahun, dalam usia yang kian renta
menjadi ironis bila bangsa yang besar dengan limpahan kekayaan alam luar biasa
ini mengalami kemunduran. Satu-satunya yang bergerak maju dan sangat pesat dari
bangsa ini adalah korupsi. Membicarakan Indonesia dengan beragam
permasalahannya tentu saja masalah pendidikan menjadi penting untuk kita
cermati, karena pendidikan menjadi faktor pendorong kemajuan suatu bangsa.
Dalam era abad-21 ini,
pendidikan Indonesia menjadi soroton dunia. Hal tersebut bukan dikarenakan mutu
pendidikan nasional yang hebat, akan tetapi karena keterbelakangan mutu
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survey Political and Economic Risk Consultant
(PERC), Indonesia berada pada urutan ke 12
dari 12 negara di Asia dalam hal kualitas pendidikan. Posisi ini berada di
bawah Vietnam.
Pendidikan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni berada pada urutan
ke 37 dari 57 negara yang di survai didunia berdasarkan laporan data dari The World
Economic Forum Swedia (2000).
Secara umum penyebab rendahnya pendidikan di Indonesia
diantaranya adalah masalah efektifitas, efisiensi dan
standardisasi pengajaran.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia pun secara khusus disebabkan karena
rendahnya kualitas pengajar, sarana fisik, kesejahteraan guru, pemerataan
pendidikan, rendahnya prestasi siswa, serta mahalnya biaya pendidikan dan
rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Keadaan tersebut semakin
menggerogoti dan mencekik kualitas pendidikan Indonesia.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah, hal ini dikarenakan tidak jelasnya
tujuan pendidikan sebelum pelaksanaan pendidikan dimulai. Efektifitas dalam
pendidikan seharusnya memungkinkan para peserta didik agar bisa belajar dengan
mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, para pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) diwajibkan agar bisa meningkatkan keefektifan pembelajaran supaya pembelajaran mencapai tujuan.
Bagaimana kita bisa mencapai tujuan bila kita tidak memahami apa tujuan kita.
Sehingga hal ini menjadi sangat penting bila kita menginginkan efektifitas
pendidikan terutama pengajaran.
Untuk mencapai hasil pendidikan yang
baik sudah pasti tentunya perlu dilakukan proses pendidikan yang baik pula. Pada
pendidikan Indonesia hal ini sangat kurang diperhatikan, kita tidak begitu
peduli dengan proses, kita hanya terpusat pada pencapaian standar hasil yang
telah disepakati. Efisiensi pendidikan Indonesia seharusnya bagaimana menghasilkan
efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di
Indonesia diantaranya masalah biaya
pendidikan yang mahal,
hal ini bukan suatu rahasia umum lagi. Berbicara
tentang biaya pendidikan bukan hanya masalah biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan
formal atau informal lain yang dipilih, lebih jauh kita akan berbicara tentang sarana pendukung seperti buku, biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat
sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Saat ini di
sekolah negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya
pengajaran. Akan tetapi kebutuhan peserta didik tidak hanya itu
saja, kebutuhan lainnya ialah buku
teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya diwajibkan
beli
oleh pendidik yang bersangkutan.
Lalu hal mengejutkan lainnya, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta
didiknya, dan membayar iuran yang
tentu
saja untuk pendidik tersebut. Masalah lainnya
adalah waktu pengajaran,
pada pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 06.20 dan diakhiri
sampai pukul 15.45.. Hal tersebut
tentu saja tidak efisien,
karena peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan
banyak waktu tersebut,
masih banyak yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya dikarenakan pendidikan formal yang
dinilai kurang.
Selanjutnya masalah lain efisiensi pengajaran
adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Sebagai contoh, pengajar AA mempunyai dasar
pendidikan di bidang fisika, namun dia mengajarkan
keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal lain adalah pendidik tidak mampu menyampaikan bahan
pengajaran dengan baik, sehingga peserta didik tidak mudah mengerti dan membuatnya tidak tertarik belajar.Sistem
pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam beberapa
tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem kurikulum
berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan
aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga musti mengganti cara
pendidikan untuk menyampaikan materi, dan untuk itu pendidik harus mendapat pelatihan terlebih dahulu. Hal ini sudah tentu menambah pengeluaran biaya
pendidikan.
Pendidikan yang
efisien adalah program yang bisa menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan
akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak menjadi tertunda.
Dunia pendidikan terus berubah. Dalam era globalisasi kini standar
kompetensi yang dibutuhkan selalu berubah-ubah. Dewasa ini, standar dan
kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat sibuk terhadap
standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi dengan berbagai
versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BSNP).
Kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan sekarang ini memungkinan
adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja, sehingga kehilangan
makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia hanya
memikirkan mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan
yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga
adalah memenuhi nilai di atas standar saja. Hal tersebut sangatlah miris karena dengan demikian
pendidikan kehilangan makna dan hanya berorientasi pada standar kompetensi,
yang sekaligus sebagai factor rendahnya pendidikan diindonesia.
Dalam acara ujian akhir nasional berbagai perdebatan selalu
muncul. Secara keseluruhan system evaluasi ujian akhir nasional sudah baik
tetapi cukup disayangkan evaluasi sitem UAN dijadikan penentu lulus atau
tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, dna celakanya hanya dilakukan satu
putran tanpa melihat proses yang telah dilalui peserta didik selama tiga tahun.
Mata pelajaran yang di evaluasikanpun hanya terbatas pada tiga mata pelajaran.
Melengkapi ketiga hal diatas daftar peyebab rendahnya
pendidikan Indonesia terus bertambah. Kualitas sarana fisik sangat rendah,
masih banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap, teknologi
informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki gedung sendiri.
Kualitas guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan dan bahkan dinyatakan belum layak mengajar. Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menjelaskan dari sekitar
1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke
atas. Kemudian, dari sekitar
680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke
atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Meskipun pendidik bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pendidik merupakan
titik pusat pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah
juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Berdasarkan
survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005,
idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah.
Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru
bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per
jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada
sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, akan tetapi tidak harus murah atau gratis. lalu persoalan yang muncul siapa yang
harus membayarnya?.
Tentu saja Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin lepas dari tanggung
jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah
untuk ‘cuci tangan’.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.