Senin, 15 Oktober 2012 1 komentar

pendidikan Indonesia Demam



Tanggal 17 Agustus 2012 Indonesia genap berusia enam puluh tujuh tahun, dalam usia yang kian renta menjadi ironis bila bangsa yang besar dengan limpahan kekayaan alam luar biasa ini mengalami kemunduran. Satu-satunya yang bergerak maju dan sangat pesat dari bangsa ini adalah korupsi. Membicarakan Indonesia dengan beragam permasalahannya tentu saja masalah pendidikan menjadi penting untuk kita cermati, karena pendidikan menjadi faktor pendorong kemajuan suatu bangsa.
     Dalam era abad-21 ini, pendidikan Indonesia menjadi soroton dunia. Hal tersebut bukan dikarenakan mutu pendidikan nasional yang hebat, akan tetapi karena keterbelakangan mutu pendidikan Indonesia. Berdasarkan survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), Indonesia berada pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia dalam hal kualitas pendidikan. Posisi ini berada di bawah Vietnam. Pendidikan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni berada pada urutan ke 37 dari 57 negara yang di survai didunia berdasarkan laporan data dari The World Economic Forum Swedia (2000).
Secara umum penyebab rendahnya pendidikan di Indonesia diantaranya adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Rendahnya mutu pendidikan Indonesia pun secara khusus disebabkan karena rendahnya kualitas pengajar, sarana fisik, kesejahteraan guru, pemerataan pendidikan, rendahnya prestasi siswa, serta mahalnya biaya pendidikan dan rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Keadaan tersebut semakin menggerogoti dan mencekik kualitas pendidikan Indonesia.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, hal ini dikarenakan tidak jelasnya tujuan pendidikan sebelum pelaksanaan pendidikan dimulai. Efektifitas dalam pendidikan seharusnya memungkinkan para peserta didik agar bisa belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, para pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) diwajibkan agar bisa meningkatkan keefektifan pembelajaran supaya pembelajaran mencapai tujuan. Bagaimana kita bisa mencapai tujuan bila kita tidak memahami apa tujuan kita. Sehingga hal ini menjadi sangat penting bila kita menginginkan efektifitas pendidikan terutama pengajaran.
Untuk mencapai hasil pendidikan yang baik sudah pasti tentunya perlu dilakukan proses pendidikan yang baik pula. Pada pendidikan Indonesia hal ini sangat kurang diperhatikan, kita tidak begitu peduli dengan proses, kita hanya terpusat pada pencapaian standar hasil yang telah disepakati. Efisiensi pendidikan Indonesia seharusnya bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di Indonesia diantaranya masalah biaya pendidikan yang mahal, hal ini bukan suatu rahasia umum lagi. Berbicara tentang biaya pendidikan bukan hanya masalah biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, lebih jauh kita akan berbicara tentang sarana pendukung seperti buku,  biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Saat ini di sekolah negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran. Akan tetapi kebutuhan  peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya ialah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya  diwajibkan beli oleh pendidik yang bersangkutan.
 Lalu hal mengejutkan lainnya, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, dan membayar iuran yang tentu saja untuk pendidik tersebut. Masalah lainnya adalah waktu pengajaran, pada pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 06.20 dan diakhiri sampai pukul 15.45.. Hal tersebut tentu saja tidak efisien, karena peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, masih banyak  yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya dikarenakan pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selanjutnya masalah lain efisiensi pengajaran adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Sebagai contoh, pengajar AA mempunyai dasar pendidikan di bidang fisika, namun dia mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal lain adalah pendidik tidak mampu menyampaikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga peserta didik tidak mudah mengerti dan membuatnya tidak tertarik belajar.Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga musti mengganti cara pendidikan untuk menyampaikan materi, dan untuk itu pendidik harus mendapat pelatihan terlebih dahulu. Hal ini sudah tentu  menambah pengeluaran biaya pendidikan. Pendidikan yang efisien adalah program yang bisa menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak menjadi tertunda.
Dunia pendidikan terus berubah. Dalam era globalisasi kini standar kompetensi yang dibutuhkan selalu berubah-ubah. Dewasa ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat sibuk terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetensi dengan berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan sekarang ini memungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja, sehingga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia hanya memikirkan mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja. Hal tersebut sangatlah miris karena dengan demikian pendidikan kehilangan makna dan hanya berorientasi pada standar kompetensi, yang sekaligus sebagai factor rendahnya pendidikan diindonesia.
Dalam acara ujian akhir nasional berbagai perdebatan selalu muncul. Secara keseluruhan system evaluasi ujian akhir nasional sudah baik tetapi cukup disayangkan evaluasi sitem UAN dijadikan penentu lulus atau tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, dna celakanya hanya dilakukan satu putran tanpa melihat proses yang telah dilalui peserta didik selama tiga tahun. Mata pelajaran yang di evaluasikanpun hanya terbatas pada tiga mata pelajaran.
Melengkapi ketiga hal diatas daftar peyebab rendahnya pendidikan Indonesia terus bertambah. Kualitas sarana fisik sangat rendah, masih banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap, teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri.
Kualitas guru di Indonesia juga amat memprihatinkan dan bahkan dinyatakan belum layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menjelaskan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Kemudian, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Meskipun pendidik bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pendidik merupakan titik pusat pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, akan tetapi tidak harus murah atau gratis. lalu persoalan yang muncul siapa yang harus membayarnya?. Tentu saja Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin lepas dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu: Solusi sistemik,dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.Kemudian, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.Misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. 
Rabu, 10 Oktober 2012 0 komentar

Kalau

Kalau kau mau tancapkanlah belati didadaku
dan lihatlah darah yang mengalir akan membentuk namamu

sebab aku tak sempat melahap nama lain di hidupku

 
;