Senin, 30 Juli 2012 0 komentar

karya Mila R


Minggu, 22 Juli 2012 0 komentar

Dan Tebu Tak Manis Lagi

Tumbuh Subur Diantara Rakyat yang tak makmur

: Bagi PTPN VII
Akhirnya pecah juga. Roh-roh nenek moyang kami kelayapan dari kuburnya. Lebih dari tiga puluh tahun dibendung, sejak tahun 1981 dibungkam. Kami tidak ingin menjadi pemberontak, tapi hak kami dikebiri. Jahatkah kami ? atau jahatkah para pemilik modal?. Sebagai orang kecil kami hanya meratapi nasib, sambil memegang sertifikat hak milik yang tak menjadi milik. Akhirnya jadi buruh tebang dari pada anak bini perutnya kerontang. Bagai semut hitam kami berjejalan menghisap ampas tebu yang ditanam diatas tanah nenek moyang kami.
Pernah suatu ketika ada saudara kami yang bertanya tentang tanah ini. Lalu pemilik modal bicara panjang lebar yang kami tidak paham. Katanya sudah izin bupati, sudah dipahami gubernur, dilengkapi tanda tangan nenek moyang kami. Keesokan harinya tak pernah kami lihat lagi saudara kami itu, hilang entah kemana, ditelan bumi barangkali. Jahatkah kami bila bertanya tentang hak kami yang digiling bersama tebu dalam mesin-mesin raksasa dan dihidangkan ke seluruh Indonesia, luar negeri bahkan. Orang goblok seperti kami cuma bisa caci maki dalam hati. 
Menanam Tebu
Musim panen, ritual  yang paling menyebalkan. Parade mobil pengangkat tebu membikin debu-debu berkeliaran dijalan. Menyesaki dada. Barangkali bila dibedah dada kami isinya gumpalan tanah merah. Walau pun menyebalkan musim panen adalah waktu yang kami nanti. Seperti semut hitam kami berjejalan memungut rupiah dari tebu sialan, jadi buruh memang tapi lumayan buat makan. Hujan pun tiba, kata orang adalah berkah. Tapi kata kami adalah derita, sebab kubangan-kubangan yang dibuat truk-truk pengusung tebu sialan dipenuhi air hujan. 
Proses Panen
Adakah yang pernah dengar cerita tentang kami?. Tentang daerah Indonesia yang subur disumatera, yang lebih dari 21000 hektar tanahnya diolah Negara tapi masyarakatnya hina. Tentu saja tidak ada yang tahu, karena kami memang dibikin goblok. Coba kalau tanah kami diolah sendiri, mungkin anak cucu kami bisa sekolah dan beritakan tentang kehebatan dusun kami pada kalian semua. Tapi anda semua tahu gula cinta manis? Nah..itulah kami. Setiap pagi, setiap hari. Dari warung kopi kelas bawah sampai kelas atas-atas sekali. Mulai dari gembel, pelacur, bapak menteri sampai presiden dengan nikmat menghisap darah dan keringat kami dalam adukan kopi.
20 mei. Hari kebangkitan nasional jadi semangat kami untuk bangkit dari penindasan. Kemiskinan cukup patut membuat kami melawan. Kemiskinan mengajarkan cara melawan. Semua atas aspirasi kami yang mulai menyusuri riwayat nenek moyang kami. Seperti semut hitam kami berjejalan, dari subuh bahkan. Para pemilik modal pun tidak peduli dengan teriakan kami, dengan gagah mereka kirim pasukan untuk menakut-nakuti kami. Sama seperti dikebanyakan tempat, aparat jadi alat perlindungan pemilik modal bukan pelindung kami.
Pemilik Tanah  vs Aparat
Langit pagi berubah gelap. Asap-asap menyesak napas kami. Tank minyak mesin trkator yang terbakar meledak keras. Semua nyawa berhamburan, menonton pesta kembang api besar. Tidak tahu siapa yang melakukan, tapi ritual musim panen biasa membakar tebu-tebu untuk mempermudah .  Jam satu tengah hari sepuluh mobil aparat menyergap kampung kami, scenario yang sangat apik. Dua belas saudara kami mendekam dalam sel tahanan, menyakitkan memang. Kami coba melawan dengan kemampuan kecil. Hasilnya dua sepeda motor yang kami cicil dari perasan keringat dihancurkan. Siapa aparat? Pembelah rakyatkah?. Berapa harga aparat, kami akan sumbangan. 
Rakyat yang di tuduh bakar, padahal ritual panen juga ada proses ini
Hari-hari melesat keminggu. Perdebatan masih saja begitu gencar. Para pemilik modal bertahan, kami juga bertahan. Segala riwayat nenek moyang kami dikeluarkan, segala perjanjian buatan dipertontonkan. Roh-roh nenek moyang kami bergelincatan. Protes pada tuhan. Tebu-tebu yang terbakar jadi tudingan prilaku brutal . Angka kerugian milyaran dijejerkan, sebagai dalih kesalahan. Para bapak masih sibuk promosi diri, masih antusias rebut kursi.
Kami akan bertahan. Kami akan berdiri dibaris terdepan. Walau ajal dipertaruhkan. Berjam-jam kami berdiri dikantor menteri, tak ada keputusan. Tuhan masih belum begitu paham dengan semua ini. Para aparat dan preman tidak peduli nasib kami.  Bukan juga salah mereka, karena mereka juga sama seperti kami butuh makan dan sejahtera makanya terima uang para pengusaha. Sepuluh orang ditahan, suaranya dibungkam. Kami tidak diam. Berjalan terus menyusuri tiap tikungan demokrasi. Perjuangan melawan sistem yang kuat kunci.
Proses Produksi
Wahai para pengusaha. Jangan tanya kenapa kami begini, sebab jawabnya ada pada sistemmu. Wahai para aparat jadikan dirimu lebih bermartabat, jangan menjadi laknat. Kami belum menyerah !
 
;